LEMBAGA
SOSIAL
“EKSISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP PENERTIBAN SATPOL PP”
Dosen
Pengampu : Dra. Rahesli Humsona M.Si
Disusun
Oleh :
Abdur Rokhim (D0315001)
Adinda Nur K.W (D0315003)
Puput
Adistya Pratiwi (D0315049)
PROGRAM
STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah lembaga sosial yaitu laporan hasil penelitian kami yang berjudul “Eksistensi Pedagang Kaki Lima Terhadap Penertiban Satpol PP” ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya.
Kami
sangat berharap laporan ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai arti pentingnya kesejahteraan ekonomi
dalam kehidupan agar tercapai kemakmuran dengan mencari penghasilan sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam laporan ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan laporan yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga
laporan hasil penelitian sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan
datang.
Surakarta,
Mei 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tentunya kita semua sudah tidak asing lagi dengan istilah
“pedagang kaki lima” atau PKL. Seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait
dengan PKL di perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar, di taman kota,
di jembatan penyeberangan bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulang kali
menertikan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau
merusak keindahan kota. Fenomena PKL di perkotaan bisa dikatakan tidak teratur,
umumnya mereka tidak tertib dan jorok. Dan ini merupakan wujud “tidak
nyambungnya” antara perencanaan tata kota dengan transformasi masyarakat ini.
Tapi pada kenyataannya sewaktu krismon (krisis moneter) melumpuhkan seluruh
aspek perekonomian Indonesia kecuali sektor micro yang mampu survive,
keberadaan PKL di negeri ini masih belum mendapat tempat yang selayaknya. Banyak kejadian mereka
dikejar dan diurus seperti kriminal. Sebuah mimpi jika berharap pemerintah dapat
memfasilitasi dan memberi lahan khusus agar lingkungan kelihatan leih indah. Di
sudutsudut kota yang telah diinvasi lebih lama oleh PKL. Fenomena ini yang
menarik minat kami untuk menyelami lebih dalam dalam
penelitian ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang
menjadi pokok permasalan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana
persepsi PKL
tentang adanya penertiban oleh Satpol PP?
2. Mengapa
keberadaan Pedagang Kaki Lima dipermasalahkan pemerintah?
3. Bagaimana
kebijakan-kebijakan Pemerintah untuk menangani masalah PKL?
4. Bagaimana
kondisi sosial ekonomi PKL?
C.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana respon
para pedagang kaki lima yang ada di belakang gerbang FISIP UNS terhadap penertiban
satpol PP serta dampak terhadap kehidupan ekonomi mereka.
D.
Manfaat
Dalam penelitian ini manfaat yang dapat diamil adalah :
a. Manfaat Teoritis
Dengan diadakannya penulisan laporan penelitian semoga
dapat menambah khasanah keilmuwan bagi seluruh mahasiswa.
b. Manfaat Praktis
1.
Bagi
mahasiswa
Menambah khasana keilmuwan.
2.
Bagi
peneliti
Penelitian ini digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Lembaga Sosial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi
Konseptual
i.
Pedagang Kaki Lima
·
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, istilah kaki lima
adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang
kedua adalah lantai (tangga) dimuka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua
ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana
di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian
depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan
dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar
kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan
kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang
pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.
·
Pedagang
Kaki Lima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991), adalah pedagang
yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya
menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau
dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan atau trotoar, tempat-tempat yang
tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan
miliknya.
·
Menurut
Breman (1988), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang
dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah
(gaji harian) dan mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini
termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan
pekerjaan yang tidak tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak
terikat pada aturan hukum, hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas
tertentu.
·
Menurut
McGee dan Yeung (1977: 25), PKL mempunyai pengertian yang sama dengan
”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan
jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum,
terutama di pinggir jalan dan trotoar.
ii.
Eksistensi
·
Menurut
kamus besar Bahasa Indonesia : “Eksistensi adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung
unsur bertahan”.
·
Menurut
Abidin Zaenal (2007:16) : “Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu
„menjadi‟ atau„mengada‟. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni
exsistere, yang artinya
keluar dari, “melampaui” atau “mengatasi”. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan
terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami
perkembangan atau
sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam
mengaktualisasikan potensi-potensinya”.
B.
Kajian Teori
Weber (dalam Ritzer, 2004:38).
mengatakan persoalan pokok sosiologi adalah tindakan sosial antara hubungan
sosial. Tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakan itu
mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan pada tindakan
orang lain. Weber memulai analisisnya tentang tindakan sosial yakni terjadinya
pergeseran tekanan kearah keyakinan, motivasi dan tujuan pada diri anggota
masyarakat yang semuanya memberikan isi dan bentuk kepada kelakuannya. Menurut
pandangan Weber (dalam Lawang, 2005) keputusan untuk bertindak biasanya diambil
dengan pertimbangan makna atau nilai yang ada pada seseorang, yang dipandu oleh
norma, nilai, ide-ide di satu pihak dan kondisi situasional di lain pihak, dan
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, dengan cara yang menurut pertimbangan
subjektif efektif dan efisien. Pertimbangan semacam ini akan mencerminkan
perilaku ekonomi seseorang. Perilaku ekonomi yang dimaksudkan dalam tulisan ini
adalah segala aktivitas yang berkaitan langsung dengan pola distribusi barang,
pemanfaatan keuntungan dan pengembangan jaringan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Setting Penelitian
Lokasi penelitian bertempat di belakang gerbang Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS Jl.
KI Hajar Dewantara (Depan Techno Park), Surakarta pada Hari
Selasa, 10 Mei 2016 Pukul 14.00 WIB - Selesai.
B.
Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah bentuk deskriptif kualitatif dengan teknik Observasi dan wawancara.
Dimana observasi adalah berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap gejala
yang diteliti. Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi ojek alamiah dimana peneliti merupakan instrumen
kunci (Sugiyono,2005).
C.
Sumber Data
Dalam setiap penelitian diperlukan kemampuan memilih
metode pengumpulan data yang relevan. Data merupakan fakta penting dalam
penelitian. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data
primer dan data sekunder.
a.
Data
Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melaui wawancara dan pengamatan
langsung.
b.
Data
Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dengan
cara membaca dan mempelajari melalui media lain. Data sekunder dalam penelitian
ini diperoleh dari buku yang berhubungan dengan tema penelitian.
D.
Teknik Pengumpulan Data
a.
Metode
wawancara
Dengan menggunakan teknik wawancara terstruktur, artinya
wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan
seelumnya.pertanyaan yang sama diajukan kepada semuan reponden dalam kalimat
dan responden yang seragam. (Sulistyo-Basuki, 2006:110)
b.
Metode
dokumentasi
Peneliti menggunakan metode dokumentasi, yaitu
pengumpulan data dengan cara mencari dokumen-dokumen yang terkait dengan
penelitian. Disini peneliti mengambil dokumen dengan cara mengambil gambar pada
saat penelitian.
c.
Studi
Pustaka
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
menelusuri buku-buku yang berhubungan dengan tema penelitian ini.
E.
Populasi
Populasi adalah keseluruhan ojek yang akan diteliti
(Sulistyo-Basuki, 2006:182). Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang kaki
lima yang ada di belakang gerbang FISIP UNS.
F.
Teknik Sampling
Dalam penelitian ini pemilihan informan menggunakan
teknik random sampling. Random sampling adalah teknik penganbilan sampel dimana
semua individu dalam populasi secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi
kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel (Sugiyono,
2003:74-78). Sampel adalah bagian dari sebuah populasi yang dianggap dapat mewakili
dari populasi tersebut. Sampel dalam penelitian ini adalah penjual terang
bulan, penjual bakso goreng dan penjual es pisang kacang hijau.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil Responden
Dalam
penelitian ini, kami menemui tiga informan. Berikut kami cantumkan profil dari
informan yang kami temui.
1.
Galaksi
Galaksi
merupakan nama samaran dari responden pertama kami yang menjual terang bulan.
Berusia sekitar 25 tahun, berasal dari Jawa Timur. Ia telah berjualan sebagai
pkl sejak lama,namun baru berdagang terang bulan selama kurang lebih 3 bulan.
Ia berjualan di lokasi penelitian pada siang hari, pada pagi harinya ia
menjajakan terang bulan di sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Ia di
Solo hidup di daerah Kampung Sewu dengan status sebagai anak kos. Ia berjualan
di lokasi penelitian dengan cara illegal, karena tidak mendapat ijin resmi
untuk berjualan. Namun, ia tetap berjualan di lokasi penelitian dikarenakan
banyaknya pembeli yang membuat dagangannya laku terjual. Para mahasiswa UNS
yang menjadi target pembeli dagangannya. Ia belum pernah terjaring razia PKL
oleh Satpol PP, karena ia berjualan pada jam yang aman dari razia Satpol PP.
Menurut pengalaman dari pedagang lainnya razia Satpol PP dilakukan pada jam 8
pagi, 10 pagi, dan jam 1 siang, namun pada hari Jumat tidak pernah ada razia
Satpol PP. Dengan statusnya menjadi PKL ini, ia bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pendapatan dari ia berjualan tidak terpotong untuk retribusi tempat
berdagang, karena ia berjualan pada jam-jam tertentu yang tidak ada pemungutan
biaya dan aman dari razia Satpol PP.
2.
Jupiter
Jupiter
merupakan nama samaran dari responden kedua kami yang menjual es pisang ijo.
Berusia sekitar 23 tahun, berasal dari Boyolali dan kini tinggal di Colomadu.
Ia telah berjualan es pisang ijo kurang lebih 3 tahun. Ia berjualan di lokasi
penelitian pada siang hari setelah ia berjualan di SD atau SMP. Ia berjualan di
lokasi penelitian dengan cara legal, karena ia ikut dalam paguyuban kaki lima,
setiap sebulan sekali ia dimintai uang kebersihan oleh paguyuban kaki lima.
Namun, hal tersebut tidak menjaminnya lolos dari razia Satpol PP sebab ia
pernah terjaring razia Satpol PP. Dari penuturan responden kedua ini, dahulu
razia Satpol PP kasar dikarenakan ada tindakan fisik berbeda dengan razia
Satpol PP saat ini yang hanya ditegur dan diperingatkan saja sehingga bahan
dagangan aman. Ia juga bercerita bahwa dengan adanya Satpol PP yang bermain
fisik biasnya barang dagangannya dihancurkan sehingga membuat rugi pedagang,
kalau sekarang tidak.
3.
Badzra C.R.P
Badzra
merupakan nama dari responden ketiga kami yang menjual bakso goreng. Berusia
sekitar 27 tahun, berasal dari Madiun dan kini tinggal di daerah Pasar Kembang.
Ia baru memulai usaha berjualan bakso goreng di lokasi penelitian ini. Ia berjualan
bakso goreng belum ada satu tahun namun ia berjualan di SD atau SMP, sebelumnya
ia berjualan susu tetapi karena mudah basi maka ia mencari sesuatu yang lain.
Ia baru berjualan di lokasi penelitian sehingga ia belum mengetahui tentang
adanya paguyuban pedagang kaki lima ditempat tersebut.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
i.
Persepsi PKL Tentang Adanya Penertiban Oleh Satpol
PP
Pedagang
Kaki Lima atau disingkat PKL merupakan sasaran razia penertivan Satpol PP.
Perkembangan kota yang diiringi dengan
perkembangan yang semakin pesat, akhirnya menuntut kepada tingkat kualitas
kesejahteraan masyarakat. Hal ini membuat masyarakat berjualan untuk bisa hidup
layak. Salah satunya berjualan di belakang
gerbang Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS yang membuat
pemandangan yang tidak rapi dan menganggu keindahan. Responden penelitian
berpandangan bahwa penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP itu bagus untuk
menjaga keindahan, namun unik juga karena sekarang penertiban yang diadakan
oleh Satpol PP hanya memberi teguran untuk tidak berjualan di lokasi tersebut.
Namun para PKL masih tetap nekat berjualan karena untuk berjualan ditempat
tersebut tidak dikenai tariff sewa tempat, hanya kadang saja ada penduduk
sekitar yang memintai uang kebersihan yang jumlahnya sedikit dan diberi karcis
sebagai tanda membayar. Selain itu, para PKL berjualan di lokasi tersebut pada
siang hari untuk menambah pendapatan mereka, banyaknya mahasiswa yang membeli
barang dagangan mereka membuat mereka memilih tempat tersebut untuk mencari
nafkah. Semenjak sering adanya penertiban Satpol PP, kini PKL sudah hafal
jam-jam diadakannya razia penertiban oleh Satpol PP sehingga mereka berjualan
di jam-jam aman yang tidak ada razia penertiban oleh Satpol PP.
ii.
Keberadaan Pedagang Kaki Lima Dipermasalahkan
Pemerintah
PKL
keberadaannya memang selalu dipermasalahkan oleh pemerintah karena ada beberapa
alasan, yaitu diantaranya:
·
Penggunaan ruang publik oleh PKL bukan
untuk fungsi semestinya karena dapat membahayakan orang lain maupun PKL itu
sendiri.
·
PKL membuat tata ruang kota menjadi
kacau.
·
Keberadaan PKL tidak sesuai dengan visi
kota yaitu yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan
kerapihan kota.
·
Pencemaran lingkungan yang sering
dilakukan oleh PKL.
·
PKL menyebabkan kerawanan sosial.
Fenomena
PKL dan masalah – masalah yang ditimbulkan PKL seperti yang telah diuraikan diatas,
dianggap menyulitkan dan menghambat pemerintah untuk mewujudkan sebuah kota
yang bersih dan tertib salah satunya, walaupun pemerintah telah membuat
kebijakan untuk melarang keberadaan PKL dengan mengadakan razia yang dilakukan
oleh Satpol PP, faktanya jumlah PKL malah semakin banyak. Dan tentu kebijakan tersebut
menuai banyak kontra dari para PKL karena kebijakan pemerintah itu dianggap
tidak tepat, tidak adil dan merugikan para PKL Kemudian yang menambah
daftar panjang permasalahan PKL ini adalah pendekatan yang dilakukan pemerintah
dalam praktiknya banyak menggunakan kekerasan. Pendekatan kekerasan yang akan
dilakukan pemerintah justru akan menjadi boomerang
bagi pemerintah itu sendiri, sehingga akan timbul ketidakstabilan, anarkisme
dan ketidaktentraman yang dampaknya justru akan menurunkan citra pemerintah
sebagai pembuat kebijakan.
Yang
paling menarik yaitu dari adanya permasalahan PKL ini adalah PKL menjadi sebuah
dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata
ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economy. Kita juga harus melihat bahwa PKL memiliki
beberapa segi positif, salah satunya adalah memberikan kemudahan mendapatkan
barang dengan harga terjangkau. Apabila Indonesia ingin bebas dari PKL maka
pemerintah harus memberikan lapangan pekerjaan yang layak dan lebih baik kepada
para PKL tersebut, dan juga memberikan alternatif tempat membeli barang dengan
harga yang murah khususnya pada warga golongan menengah bawah. Apabila
masyarakat dipaksakan untuk membeli barang yang harganya lebih tinggi daripada
membeli di PKL maka daya beli masyarakat akan berkurang.
iii.
Kebijakan – Kebijakan Pemerintah Untuk
Menangani Masalah PKL
Berbicara
mengenai kebijakan pemerintah berarti di sini adalah segala hal yang diputuskan
pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas
untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan
kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up.
Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan
pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Mengenai kebijakan
razia oleh Satpol PP banyak kalangan yang menilai bahwa kebijakan yang dibuat
pemerintah kerap kali muncul disaat permasalahan telah akut, dan isi Perda nya
pun banyak merugikan PKL, sehingga seharusnya ada suatu alternatif kebijakan
yang diambil untuk mensinergikan kepentingan pemerintah dengan PKL yakni
kebijakan relokasi, kebijakan tersebut dapat diambil untuk mensinergikan
kepentingan antara pemerintah dengan PKL karena dengan membuat kebijakan
relokasi yang tepat untuk PKL yaitu dengan cara menyediakan lahan strategis
untuk pemasaran barang dagangan para PKL tersebut, maka dalam hal ini
kepentingan PKL dapat terpenuhi dan tentunya dalam hal inipun pemerintah dapat
mempertimbangkan juga bahwa lahan tersebut tidak mengganggu ketertiban dan
kenyamanan kota. Maka intinya diharapkan kepentingan Pemerintah dan PKL dapat
terpenuhi, sehingga dapat tercipta suatu format penyelesaian kebijakan yang win – win solution sehingga dapat
terwujud, kesejahteraan PKL pun dapat terwujud. Tetapi memang untuk mewujudkan
semua itu tidak mudah, memerlukan sosialisasi atau beberapa pendekatan secara
teoritis dan sosiologis terhadap PKL. Maka sekali lagi apabila pemerintah akan
membuat suatu kebijakan yang dapat menciptakan kedinamisan dan kesejahtraan
rakyat, tentunya dalam membuat kebijakan tersebut harus didasarkan pada asas
oportunitas.
iv.
Kondisi Sosial Ekonomi PKL
Perkembangan
yang begitu pesat membuat seluruh elemen kota harus ikut dalam laju pembangunan
yang semakin cepat termasuk pertumbuhan jumlah penduduk. Semakin banyaknya
jumlah penduduk berpengaruh terhadap jumlah. Masalah sosial di masyarakat. Kata
sosial dalam pengertian umum berarti segala sesuatu mengenai masyarakat atau
kemasyarakatan. Soejono Soekamto (1983:464) mengemukakan bahwa “sosial adalah
berkenaan dengan perilaku atau yang berkaitan dengan proses sosial”. Jadi
sosial berarti mengenai keadaan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kehidupan sosial berarti suatu fenomena atau gejala akan bentuk hubungan
seseorang atau segolongan orang dalam menciptakan hidup bermasyarakat.
Terwujudnya
kehidupan sosial ekonomi seseorang tidak terlepas dari usaha-usaha manusia itu
sendiri dengan segala daya dan upaya yang ada
serta dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong, antara lain dorongan untuk mempertahankan diri dalam
hidupnya dari berbagai pengaruh akan dorongan untuk mengembangan diri dari
kelompok. Semuanya terlihat dalam bentuk, hasrat, kehendak, kemauan, baik secara
pribadi maupun yang sifatnya kelompok sosial. Aktivitas ekonomi secara sosial
didefinisikan sebagai aktivitas ekonomi yang dipengaruhi oleh interaksi sosial
dan sebaliknya mereka mempengaruhinya. Kesulitan ekonomi
keluarga memaksa untuk
turun ke jalan
mencari nafkah. Berikut ini akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan
kondisi sosial ekonomi pedagang kaki lima di lokasi penelitian :
·
Pendidikan
Pendidikan
merupakan salah satu aspek untuk mengetahui latar belakang kehidupan pedagang kaki
lima. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang terkadang dijadikan cermin kepribadian
seseorang sesuai nilai yang berlaku dalam masyarakat. Tingkat pendidikan juga dapat
dijadikan sebagai ukuran dalam menentukan tingkat kehidupan sosial ekonomi seseorang.
Untuk yang bekerja di sektor informal tidak terlalu membutuhkan tingkat pendidikan
dalam menggeluti pekerjaannya. Namun demikian, dijaman yang modern ini, secara
tidak langsung pendidikan berpengaruh
terhadap pekerjaan. Sebagian dari pedagang
kaki lima adalah orang-orang yang tidak tertampung di pasar kerja yang mensyaratkan
pendidikan sebagai syarat utama. Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang tidak memadai
serta pendidikan yang terbatas, membuat masyarakat harus berfikir bagaimana
mempertahankan hidup. Dengan modal yang terbatas dan keterampilan yang masih terbilang
minim menjadikan banyak orang memilih profesi sebagai pedagang kaki lima dan
diantaranya sebagai penjual terang bulan, es pisang ijo, dan bakso goreng.
Dari
hasil wawancara dengan responden, diketahui bahwa tanpa pendidikan yang
memadai, masyarakat akan terjebak pada pekerjaan yang menguras tenaga yang banyak,
berbeda dengan yang memiliki
pendidikan yang tinggi, dimana pendidikan tinggi
dapat membuat seseorang menduduki posisi yang baik dalam pekerjaannya
·
Usia Kerja
Usia
merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia, karena sebagai batasan
kemampuan untuk melakukan kegiatan dalam kehidupannya dan tinggi rendahnya usia
menentukan kapan seseorang dapat bekerja.Umur atau usia juga merupakan modal
dasar dalam kehidupan, dalam banyak jenis pekerjaan standar usia menjadi syarat
penerimaan dan menjadi batas bagi seseorang untuk bekerja,berhenti dari
pekerjaan oleh karena faktor umur yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja.
Oleh karena itu perbedaan umur seseorang selalu menunjukkan adanya kematangan dalam
berfikir, juga kekuatan fisik dalam beraktivitas. Dari hasil wawancara dengan responden,
diketahui bahwa pedagang kaki lima di lokasi penelitian berumur antara 20 tahun
sampai dengan 30 tahun. Berdasarkan usia informan tersebut, dapat dikatakan bahwa
orang yang dapat masuk dalam dunia kerja (usia produktif).
·
Asal Daerah
Daerah
asal merupakan tempat kelahiran seseorang. Tempat awal sebelum melakukan
migrasi ke daerah tujuan. Biasanya alasan seseorang untuk meninggalkan daerah
asal mereka disebabkan oleh keinginan untuk memperbaiki taraf hidup, khususnya
dari segi perekonomian. Kota-kota besar sering kali digambarkan sebagai tempat
yang tepat untuk memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi seseorang. Pedagang
kaki lima di lokasi penelitian berasal dari beberapa wilayah, seperti Boyolali,
Madiun, dan Surabaya.
·
Tidak Ada Pekerjaan Lain
Semakin
banyaknya pasar modern, menyebabkan bnyak diantara pedagang pasar tradisional
beralih profesi menjadi pedagang kaki lima. Hal tersebut merupakan konsekuensi
dari terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan tenaga potensial terpuruk dalam
kondisi hubungan kerja yang merugikan.Sektor informal di perkotaan merupakan
klaster masyarakat yang cukup rentan terkena impas dari berbagai kebijakan.
Salah satu konsep operasional sektor informal menurut Bromley, Firdausy dalam
Indrawati mengatakan bahwasektor informal tidak membutuhkan keahlian dan
ketrampilan khusus (easy entry).
·
Kemiskinan
Berbagai
jenis aktivitas manusia tentunya mengharapkan imbalan, apalagi yang bernilai ekonomi
tentunya. Imbalan yang dimaksud adalah pendapatan yang diperoleh pedagang kaki
lima dalam bentuk materi (uang). Tentang kecukupan ekonomi dari hasil
berdagang, pedagang kaki lima menyesuaikan kebutuhannya semua dengan hasil yang
didapat. Bisa saja terkadang kekurangan. Walaupun dengan untung yang kecil,
pedagang kaki lima tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pedagang
kaki lima mau tidak mau harus dengan giat dan sabar menekuni profesinya sebagai
pedagang kaki lima untuk bisa bertahan hidup. Dari para pedagang yang berhasil
diwawancarai, mereka menyenangi profesinya saat ini. Antara lain karena tidak harus
bekerja pada orang (tunduk pada bos) sehingga kebebasan ini menjadi daya tarik
sendiri bagi pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima di lokasi penelitian kebanyakan
mendagangkan makanan jajanan sebagai barang dagang utama. Pedagang kaki bekerja
keras dari pagi di sekolah-sekolah dan
siang hingga sore di lokasi penelitiann hanya untuk mendapatkan uang. Pendapatan
yang peroleh pedagang kaki lima juga tidak menentu, dalam perharinya namun
setidaknya cukup untuk makan sehari-hari.
BAB V
PENUTUP
Pemerintah
menghadapai suatu tantangan besar untuk mampu membuat kebijakan yang tepat
untuk menangani masalah Pedagang Kaki Lima atau yang lebih kita kenal dengan
nama PKL. Pemerintah dalam hal ini belum mampu menemukan solusi untuk
menghasilkan kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi dan sekaligus
efektif.
PKL
yang dianggap illegal, mengganggu ketertiban kota dan alasan – alasan lain yang
mengharuskan pemerintah membuat suatu kebijakan melarang keberadaan PKL. Tetapi
sebaiknya pemerintah tidak melihat PKL dari satu sisi saja, PKL juga telah
memaikan peran sebagai pelaku shadow economy. PKL perlu diberdayakan guna
memberikan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. PKL merupakan sebuah
wujud kreatifitas masyarakat yang kurang mendapatkan arahan dari pemerintah.
Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan arahan pada mereka, sehingga PKL
dapat melangsungkan usahanya tanpa menimbulkan kerugian pada eleman masyarakat
yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer,
George. dan Douglas J. Goodman. 2004. Sociology:
a Multiple Paradigma Science: Editor. Terjemahan. Alimanda. Jakarta.
RajaGrafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar