Nama : Puput Adistya Pratiwi
NIM : D0315049/Sosiologi A
Demokrasi
Istilah
demokrasi muncul pada masa Yunani kuno sekitar abad ke-5 SM. Kata demokrasi
berasal dari dua kata, yaitu : demos yang berarti “rakyat” dan kratos atau
kratein yang berarti “pemerintahan”. Sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara,
untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Kemudian Abraham Lincoln
mengatakan demokrasi sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Salah satu prinsip demokrasi adalah prinsip Trias Politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara
(eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis
lembaga negara yang saling lepas dan berada dalam peringkat yang sejajar satu
sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini
diperlukan agar ketiga lembaga ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip check and balances.
Sejarah
perkembangan demokrasi dimulai di kota Athena Yunani, dimana pada masa itu
demokrasi yang berkembang adalah demokrasi langsung (direct democracy) yang
meletakkan hak seluruh rakyat untuk membuat keputusan secara langsung oleh
seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat
langsung dari demokrasi yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena
berlangsung dalam kondisi yang sederhana, dan ketentuan demokrasi hanya berlaku
untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan sebagian kecil dari penduduk.
Untuk mayoritas yang terdiri atas udak berlian dan pedagang asli demokrasi
tidak berlaku. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung,
tetapi berubah menjadi bentuk demokrasi perwakilan dimana rakyat melalui
perwakilannya untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan untuk mereka.
Kemudian gagasan demokrasi Yunani hilang dari muka dunia Barat dan dikalahkan
oleh suku Eropa Barat dan Benua Eropa yang memasuki Abad Pertengahan yang
dicirikan oleh struktur sosial feodal atau hubungan antara vassal dan lord.
Pada Abad Pertengahan ini kehidupan sosial serta spiritual dikuasai oleh paus
dan pejabat-pejabat agama dan kehidupan politiknya ditandai dengan perebutan
kekuasaan antar bangsawan yang kemudian menghasilkan suatu dokumen penting yang
disebut dengan Magna Charta. Magna Charta ini merupakan semi kontrak antara
para bangsawan dan Raja John dari Inggris, dan Raja ini berkuasa dan
mengikatkan dirinya untuk mengakui dan menjamin beberapa hak bawahan sebagai
imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun
piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata,
namun dianggap sebagai tonggak perkembangan gagasan demokrasi.
Pada
permulaan abad ke-16 di Eropa Barat muncul negara-negara nasional dalam bentuk
yang modern. Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang
mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern dimana akal dapat
memerdekakan diri dari pembatas-pembatasnya. Dua kejadian ini adalah
Reneissance (1350-1600) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti
Italia, dan reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa
Utara. Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada
kesustraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah
disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang sebelumnya hanya untuk
tulisan keagamaan ke arah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya
pandangan-pandangan baru. Kemudian pada masa Renaisans, kesustraan dan
kebudayaan Yunani kuno yang selama abad pertengahan disisihkan kemudian
dihidupkan kembali. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata
diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah soal-soal keduniawian dan
mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Adanya reformasi serta
perang-perang agama menyebabkan manusia melepaskan diri dari penguasaan Gereja,
baik di bidang spiritual maupun sosial politik. Kemudian muncullah gagasan
mengenai perlunya pemisahan antara Gereja dan Negara khususnya dalam
pemerintahan. Reformasi dan perang-perang agama yang muncul mengakibatkan
timbulnya gagasan yang menyatakan perlunya garis pemisah yang tegas antara
soal-soal agama dan keduniawian, dinamakan ‘Pemisah antara Gereja dan Negara’.
Tujuan dari dua aliran (Renaissance
dan Reformasi) tersebut adalah mempersiapkan orang Eropa Barat untuk menyelami
masa Aufklǎrung (Abad Pemikiran)
beserta Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran
manusia dari batas-batas yang ditentukan Gereja dan mendasarkan pemikiran atas
akal semata-mata. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik
yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya
kecaman-kecaman terhadap raja.
Monarki-monarki absolut ini telah
muncul dalam masa 1500-1700, sesudah berakhirnya Abad Pertengahan. Raja-raja
absolut menganggap diri mereka berhak atas tahta berdasarkan konsep Hak Suci
Raja (Divine Right of Kings).
Kecaman-kecaman yang dilontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan
kuat dari golongan menengah yang mulai berpengaruh berkat majunya kedudukan
ekonomi dan mutu pendidikannya.
Pendobrakan ini didasarkan atas
suatu teori rasionalistis yang dikenal sebagai social contract (kontrak sosial). Salah satu gagasannya adalah
bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung
prinsip-prinsip keadilan yang universal.
Filsuf-filsuf yang mencetuskan
gagasan kontrak sosial antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan
Montesquieu dari Perancis (1689-1755). Menurut John Locke, hak-hak politik
mencakup atas hak hidup, hak kebebasan, dan hak untuk memiliki (life, liberty, and property). Sedangkan
Montesquieu menyusunnya menjadi Trias
Politica. Ide-ide bahwa manusia memiliki hak-hak politik menimbulkan
revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan
Inggris.
Sesudah Perang Dunia II, timbul
gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di
dunia. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun
1949. Akan tetapi, UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap
memiliki berbagai pengertian, sekurang-kurangnya ada ketidaktentuan mengenai lembaga-lembaga
atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan
kultural secara historis yang memengaruhi istilah, ide, dan praktek demokrasi. Kemudian
muncullah teori kontrak sosial yang meletakkan dunia sebagai sesuatu yang
dikuasai hukum dan yang timbul dari alam dan mengandung prinsip keadilan yang
universal yang berarti berlaku untuk semua waktu dan semua manusia. Kemudian
pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret
sebagai program dan sistem politik yang mendasarkan pada kemerdekaan dan
kesamaan hak tiap individu.
Sebagai
akibat dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik itu secara efektif
timbullah gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah
adalah dengan suatu konstitusi apakah bersifat naskah atau tidak. Konstitusi
itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara
sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan
lembaga hukum.
Kekuasaan
pemerintah adalah dengan suatu konstitusi, apakah ia bersifat naskah (written
constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution).
Undang-undang dasr itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian
kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi dengan
kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan
konstitusionalisme (constitutionalism), sedangkan yang menganut gagasan
ini dinamakan Contitutional State atau Rechsstaat.
Pada abad
ke-19 dan permulaan abad ke-20, gagasan mengenai perlunya pembatasan mendapat
perumusan yuridis. Ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel
Kant (1724-1904) dan Friedrich Julius Stahl memakai istilah Rechtsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon (negara-negara maritim yang
terletak di Eropa) seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law. Unsur-unsur Rule
of Law oleh A.V. Dicey dalam Introduction
to the Law of the Constitution mencakup, Supremasi aturan-aturan hukum
tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti bahwa seseorang hanya boleh
dihukum kalau melanggar hukum; Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum, dalil
ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat; Terjaminnya hak-hak
manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan. Negara
bersifat pasif dan hanya bergerak di bidang politik, baru bergerak apabila
hak-hak manusia dilanggar atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Maka dari
itu sering disebut “Negara Hukum Klasik”.
Dalam abad
ke-20, terutama sesudah Perang Dunia II telah terjadi perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi yang sangat besar. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman terhadap ekses-ekses dalam
industrialisasi dan sistim kapitalis; tersebarnya faham sosialisme yang
menginginkan pembagian kekayaan secara merata serta kemenangan dari beberapa
partai sosialis di Eropa, seperti di Swedia, Norwegia dan pengaruh aliran
ekonomi yang dipelopori ahli ekonomi Inggris John Maynard Keynes (1883-1946).
Gagasan bahwa
pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di bidang
sosial maupun di bidang ekonomi (staats-onthouding dan laissez faire) lambat
laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas
kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan
sosial. Pada dewasa ini dianggap bahwa demokrasi harus meluas mencakup dimensi
ekonomi dengan suatu sistim yang menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan yang
berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, terutama perbedaan-perbedaan
yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Negara semacam ini
dinamakan welfare state (negara kesejahteraan) atau social service state
(negara yang memberi pelayanan kepada
masyarakat).
Pada dewasa
ini negara-negara modern mengatur soal-soal pajak, upah minimum, pensiun,
pendidikan umum, asuransi, mencegah atau mengurangi pengangguran dan
kemelaratan serta timbulnya perusahaan-perusahaan raksasa (anti-trust), dan
mengatur ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak diganggu oleh depresi dan
krisis ekonomi. Karena itu pemerintah dewasa ini mempunyai kecenderungan untuk
memperluas aktivitasnya.
Sesuai dengan
perubahan dalam jalan pikiran ini perumusan yuridis mengenai negara hukum
klasik seperti yang diajukan oleh A.V. Dicey dan Immanuel Kant dalam abad ke-19
juga ditinjau kembali dan dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan abad ke 20,
terutama sesudah Perang Dunia II. International Commission of Jurists yang
merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konferensinya di
Bangkok tahun 1965 sangat memperluas konsep mengenai Rule of Law, dan
menekankan apa yang dinamakannya "the dynamic aspects of the Rule of Law
in the modern age". Dianggap bahwa di samping hak-hak politik juga hak-hak
sosial dan ekonomi harus diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa harus dibentuk
standard-standard dasar sosial dan ekonomi.
Penyelesaian
dari soal kelaparan, kemiskinan dan pengangguran merupakan syarat agar supaya
Rule of Law dapat berjalan dengan baik. Pemerintah mempunyai tugas untuk
mengadakan pembangunan ekonomi, sedangkan nasionalisasi dan landreform sering
perlu diadakan, dan tidak bertentangan dengan Rule of Law. Untuk bisa
menyelenggarakan ini perlu ada kekuasaan administratif yang cukup kuat. Diakui
bahwa, terutama di negaranegara baru, agar supaya dapat mencapai
keuntungan-keuntungan ekonomi dan sosial bagi individu, beberapa tindakan
campur tangan dalam hak-hak individu menjadi tak terelakkan lagi. Hanya saja,
campur tangan semacam itu tidak boleh lebih dari yang semestinya diperlukan dan
harus tunduk pada jaminan-jaminan yang diberikan oleh Rule of Law.
Daftar Pustaka:
·
Agung S, Leo. 2013. SEJARAH INTELEKTUAL. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
· Budiardjo, Miriam. 2008. DASAR-DASAR ILMU POLITIK. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
·
Heywood, Andrew. 2014. Politik Edisi ke-4. Yogyakarta: Pustaka Belajar
·
Soehino. 2005. ILMU NEGARA. Yogyakarta: Liberty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar