Selasa, 21 Maret 2017

DEMOKRASI



Nama               : Puput Adistya Pratiwi
NIM                : D0315049/Sosiologi A

Demokrasi
Istilah demokrasi muncul pada masa Yunani kuno sekitar abad ke-5 SM. Kata demokrasi berasal dari dua kata, yaitu : demos yang berarti “rakyat” dan kratos atau kratein yang berarti “pemerintahan”. Sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara, untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Kemudian Abraham Lincoln mengatakan demokrasi sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi adalah prinsip Trias Politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip check and balances.
Sejarah perkembangan demokrasi dimulai di kota Athena Yunani, dimana pada masa itu demokrasi yang berkembang adalah demokrasi langsung (direct democracy) yang meletakkan hak seluruh rakyat untuk membuat keputusan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, dan ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan sebagian kecil dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri atas udak berlian dan pedagang asli demokrasi tidak berlaku. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi berubah menjadi bentuk demokrasi perwakilan dimana rakyat melalui perwakilannya untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan untuk mereka. Kemudian gagasan demokrasi Yunani hilang dari muka dunia Barat dan dikalahkan oleh suku Eropa Barat dan Benua Eropa yang memasuki Abad Pertengahan yang dicirikan oleh struktur sosial feodal atau hubungan antara vassal dan lord. Pada Abad Pertengahan ini kehidupan sosial serta spiritual dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama dan kehidupan politiknya ditandai dengan perebutan kekuasaan antar bangsawan yang kemudian menghasilkan suatu dokumen penting yang disebut dengan Magna Charta. Magna Charta ini merupakan semi kontrak antara para bangsawan dan Raja John dari Inggris, dan Raja ini berkuasa dan mengikatkan dirinya untuk mengakui dan menjamin beberapa hak bawahan sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai tonggak perkembangan gagasan demokrasi.
Pada permulaan abad ke-16 di Eropa Barat muncul negara-negara nasional dalam bentuk yang modern. Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern dimana akal dapat memerdekakan diri dari pembatas-pembatasnya. Dua kejadian ini adalah Reneissance (1350-1600) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia, dan reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara. Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesustraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang sebelumnya hanya untuk tulisan keagamaan ke arah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Kemudian pada masa Renaisans, kesustraan dan kebudayaan Yunani kuno yang selama abad pertengahan disisihkan kemudian dihidupkan kembali. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Adanya reformasi serta perang-perang agama menyebabkan manusia melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik di bidang spiritual maupun sosial politik. Kemudian muncullah gagasan mengenai perlunya pemisahan antara Gereja dan Negara khususnya dalam pemerintahan. Reformasi dan perang-perang agama yang muncul mengakibatkan timbulnya gagasan yang menyatakan perlunya garis pemisah yang tegas antara soal-soal agama dan keduniawian, dinamakan ‘Pemisah antara Gereja dan Negara’.
Tujuan dari dua aliran (Renaissance dan Reformasi) tersebut adalah mempersiapkan orang Eropa Barat untuk menyelami masa Aufklǎrung (Abad Pemikiran) beserta Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal semata-mata. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja.
Monarki-monarki absolut ini telah muncul dalam masa 1500-1700, sesudah berakhirnya Abad Pertengahan. Raja-raja absolut menganggap diri mereka berhak atas tahta berdasarkan konsep Hak Suci Raja (Divine Right of Kings). Kecaman-kecaman yang dilontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan kuat dari golongan menengah yang mulai berpengaruh berkat majunya kedudukan ekonomi dan mutu pendidikannya.
Pendobrakan ini didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang dikenal sebagai social contract (kontrak sosial). Salah satu gagasannya adalah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal.
Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan kontrak sosial antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Perancis (1689-1755). Menurut John Locke, hak-hak politik mencakup atas hak hidup, hak kebebasan, dan hak untuk memiliki (life, liberty, and property). Sedangkan Montesquieu menyusunnya menjadi Trias Politica. Ide-ide bahwa manusia memiliki hak-hak politik menimbulkan revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris.
Sesudah Perang Dunia II, timbul gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun 1949. Akan tetapi, UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap memiliki berbagai pengertian, sekurang-kurangnya ada ketidaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural secara historis yang memengaruhi istilah, ide, dan praktek demokrasi. Kemudian muncullah teori kontrak sosial yang meletakkan dunia sebagai sesuatu yang dikuasai hukum dan yang timbul dari alam dan mengandung prinsip keadilan yang universal yang berarti berlaku untuk semua waktu dan semua manusia. Kemudian pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik yang mendasarkan pada kemerdekaan dan kesamaan hak tiap individu.
Sebagai akibat dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik itu secara efektif timbullah gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah adalah dengan suatu konstitusi apakah bersifat naskah atau tidak. Konstitusi itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga hukum.
Kekuasaan pemerintah adalah dengan suatu konstitusi, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undang dasr itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme (constitutionalism), sedangkan yang menganut gagasan ini dinamakan Contitutional State atau Rechsstaat.
Pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, gagasan mengenai perlunya pembatasan mendapat perumusan yuridis. Ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1904) dan Friedrich Julius Stahl memakai istilah Rechtsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon (negara-negara maritim yang terletak di Eropa) seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law. Unsur-unsur Rule of Law oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution mencakup, Supremasi aturan-aturan hukum tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum; Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum, dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat; Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan. Negara bersifat pasif dan hanya bergerak di bidang politik, baru bergerak apabila hak-hak manusia dilanggar atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Maka dari itu sering disebut “Negara Hukum Klasik”.
Dalam abad ke-20, terutama sesudah Perang Dunia II telah terjadi perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman terhadap ekses-ekses dalam industrialisasi dan sistim kapitalis; tersebarnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata serta kemenangan dari beberapa partai sosialis di Eropa, seperti di Swedia, Norwegia dan pengaruh aliran ekonomi yang dipelopori ahli ekonomi Inggris John Maynard Keynes (1883-1946).
Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi (staats-onthouding dan laissez faire) lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Pada dewasa ini dianggap bahwa demokrasi harus meluas mencakup dimensi ekonomi dengan suatu sistim yang menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan yang berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Negara semacam ini dinamakan welfare state (negara kesejahteraan) atau social service state (negara yang memberi  pelayanan kepada masyarakat).
Pada dewasa ini negara-negara modern mengatur soal-soal pajak, upah minimum, pensiun, pendidikan umum, asuransi, mencegah atau mengurangi pengangguran dan kemelaratan serta timbulnya perusahaan-perusahaan raksasa (anti-trust), dan mengatur ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak diganggu oleh depresi dan krisis ekonomi. Karena itu pemerintah dewasa ini mempunyai kecenderungan untuk memperluas aktivitasnya.
Sesuai dengan perubahan dalam jalan pikiran ini perumusan yuridis mengenai negara hukum klasik seperti yang diajukan oleh A.V. Dicey dan Immanuel Kant dalam abad ke-19 juga ditinjau kembali dan dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan abad ke 20, terutama sesudah Perang Dunia II. International Commission of Jurists yang merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965 sangat memperluas konsep mengenai Rule of Law, dan menekankan apa yang dinamakannya "the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age". Dianggap bahwa di samping hak-hak politik juga hak-hak sosial dan ekonomi harus diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa harus dibentuk standard-standard dasar sosial dan ekonomi.
Penyelesaian dari soal kelaparan, kemiskinan dan pengangguran merupakan syarat agar supaya Rule of Law dapat berjalan dengan baik. Pemerintah mempunyai tugas untuk mengadakan pembangunan ekonomi, sedangkan nasionalisasi dan landreform sering perlu diadakan, dan tidak bertentangan dengan Rule of Law. Untuk bisa menyelenggarakan ini perlu ada kekuasaan administratif yang cukup kuat. Diakui bahwa, terutama di negaranegara baru, agar supaya dapat mencapai keuntungan-keuntungan ekonomi dan sosial bagi individu, beberapa tindakan campur tangan dalam hak-hak individu menjadi tak terelakkan lagi. Hanya saja, campur tangan semacam itu tidak boleh lebih dari yang semestinya diperlukan dan harus tunduk pada jaminan-jaminan yang diberikan oleh Rule of Law.

Daftar Pustaka:
·         Agung S, Leo. 2013. SEJARAH INTELEKTUAL. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
·       Budiardjo, Miriam. 2008. DASAR-DASAR ILMU POLITIK. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
·         Heywood, Andrew. 2014. Politik Edisi ke-4. Yogyakarta: Pustaka Belajar
·         Soehino. 2005. ILMU NEGARA. Yogyakarta: Liberty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar