Selasa, 21 Maret 2017

Robert K. Merton



Nama   : Puput Adistya Pratiwi
NIM    : D0315049/ Sosiologi A

Robert K. Merton
Robert K Merton adalah seorang sosiolog yang berasal dari Amerika dan dijadikan salah satu tokoh berpengaruh dalam ilmu sosiologi modern. Merton mencoba melengkapi teori-teori Parsons, beberapa pikiran pokok Merton dalam fungsionalisme struktural adalah teori taraf menengah, analisa fungsional, teori penyimpangan dan perangkat peran. Teori taraf menengah yang dibangun oleh Merton ini merupakan teori yang diawali dengan asumsi-asumsi lalu ditarik hipotese-hipotese dan diuji secara empirik. Karya sosiologi klasik dari Emile Durkheim dan Max Weber dibicarakan oleh Merton melalui teori  taraf menengah. Karya sosiologi klasik tersebut ialah Suicide oleh Durkheim dan The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism oleh Weber. Merton membuat rumusan atas argumentasi durkheim seperti: solidaritas mendukung dan membantu kelompok yang cemas dan tertekan, suicide membebaskan individu dari rasa tertekan dan kecemasan, solidaritas masyarakat Katolik lebih kuat daripada Protestan dengan begitu angka bunuh diri pada masyarakat Katolik harusnya lebih rendah.
Dalam membangun teori sosialnya, Merton banyak tertarik terhadap keadaan struktur sosial dan fungsi sosial sebagaimana organisme kehidupan. Penjelasan teori fungsional ini sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim dan Spancer, dia melihat bahwa masyarakat merupakan suatu bangunan yang tersusun dan berbagai subsistem yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan mendukung. Maka teori yang dihasilkannya disebut sebagai teori struktural fungsional. Teori fungsionalisme Merton juga terpengaruh pada teori positivistis, sebab yang dikaji adalah fakta objektif dari kehidupan masyarakat.  Menurut Merton dalam melihat fungsi sosial yang dikaji adalah hal-hal yang observable. Unit dasar suatu teori positivistis ini adalah mengenai konsep sosiologis yang memberikan dasar bagi pengujian empiris. Emile Durkheim menyebut konsep tersebut sebagai fakta sosial. Fakta sosial merupakan konsep yang memiliki realitas empiris yang berada di luar individu. Mengingat bahwa teori fungsionalisme merton juga terpengaruh fakta sosial Durkheim. Hal ini terlihat dari anggapan bahwa struktur sosial bersifat mengekang dan mempengaruhi perilaku individu.
Fungsionalis struktural pada awalnya atau yang dikemukakan oleh Parsons hanya memusatkan perhatian pada semua institusi adalah baik atau berfungsi secara baik terhadap masyarakat. Merton sendiri tidak sependapat dengan Parsons dalam hal tersebut. Sebaliknya, dia melihat bahwa ada suatu faktor sosial yang mempunyai akibat negatif atau dia mengatakan ada hal-hal yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal yang tidak berfungsi itu disebutnya dengan disfungsi. Sebagaimana struktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur, atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negatif terhadap sistem sosial. Konsep Merton tentang disfungsi meliputi dua pikiran yang berbeda tetapi saling berkaitan dan melengkapi. Pertama, sesuatu bisa saja mempunyai akibat yang secara umum tidak berfungsi. Kedua, akibat-akibat ini mungkin saja berbeda menurut kepentingan orang-orang yang terlibat. Artinya, bahwa suatu institusi secara umum berfungsi untuk kelompok orang tertentu, dan tidak berfungsi untuk kelompok orang yang lain.
Merton pun mengemukakan gagasan tentang nonfungsi, yang ia definisikan sebagai konsekuensi yang tidak relevan bagi sebuah sistem. Termasuk di dalamnya adalah bentuk-bentuk sosial yang masih bertahan sejak dahulu. Meskipun bentuk-bentuk sosial tersebut mungkin mengandung konsekuensi negatif atau positif di masa lalu, tidak ada efek signifikan yang diberikan pada masyarakat yang sekarang atau masyarakat masa kini. Apakah sebuah fungsi positif lebih penting daripada disfungsi atau pun sebaliknya, Merton mengembangkan sebuah konsep yang disebutnya sebagai “keseimbangan bersih” atau net balance. Sebuah fungsi positif maupun disfungsi tidak dapat dijumlahkan atau tidak akan pernah mampu ditentukan mana yang lebih penting dari yang lainnya, karena sangat kompleks dan banyak penilaian yang melandasi sehingga tidak mudah diperhitungkan.untuk menentukan sesuatu itu fungsional bagi orang tertentu dan tidak fungsional bagi yang lainnya, merton mengembangkan sebuah gagasan tentang level analisis fungsional. Merton menjelaskan bahwa analisis dapat juga dilakukan terhadap organisasi, institusi, maupun kelompok. Dengan memusatkan perhatian pada tingkat yang lebih khusus seperti itu akan dapat membantu menganalisis fungsionalitas dalam suatu masyarakat.
Merton memulai analisis funngsionalnya dengan menunjukkan perkataan yang tidak tepat serta beberapa asumsi atau postulat kabur yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Model Merton mencoba membuat batasan beberapa konsep analistis dasar bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terkandung dalam postulat-postulat kaum fungsionalis. Merton mengutip tiga postulat dalam analisa fungsional dan kemudian disempurnakan. Ada beberapa postulat yang diangkat oleh Merton. Pertama, kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerjasama dalam suatu tingkat keselarasan yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Disini Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari masyarakat justru bertentangan dengan fakta. Kedua, dinyatakan bahwa semua bentuk dan struktur sosial kultural memiliki fungsi positif. Merton berpendapat bahwa ini bertentangan dengan yang ditemukan di dunia nyata. Jelas bahwa, tidak semua struktur, adat istiadat, gagasan, dan lain sebagainya memiliki fungsi positif. Ketiga, argumenya adalah seluruh aspek dalam masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif tetapi juga merepresentasikan bagian-bagian tidak terpisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Kritik Merton adalah, bahwa paling tidak harus mengakui bahwa ada berbagai alternatif struktural fungsional di dalam masyarakat. Dengan kata lain, suatu sistem yang fungsional dapat diganti oleh unsur lain, akan tetapi kebutuhan fungsional tersebut masih bisa terpenuhi.
Dalam menyatakan kritikannya terhadap tiga postulat itu, Merton menyatakan bahwa suatu kelompok fungsional terhadap kelompok tertentu, akan tetapi juga disfungsional bagi kelompok lainnya. Oleh karena itu, di dalam melihat sebuah kelompok dan fungsi di dalamnya perlu dilihat dari segi positif dan segi negatifnya. Atau dengan kata lain bahwa, tidak hanya melihat dari segi integratifnya saja, tetapi juga harus melihat elemen disintegratif di dalam suatu kelompok. Dengan demikian, sulit terjadi integrasi masyarakat yang benar-benar tuntas. Selain sulit terjadi integrasi secara tuntas dalam masyarakat, ada disfungsi maupun konsekuensi fungsional yang positif dari suatu elemen kultural dan ada kemungkinan alternatif fungsional yang harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam setiap analisa fungsional.
Referensi :
·         Poloma, Margaret M. 2013. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
·         Ritzer, George and Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern Edisi ke-6. Jakarta : Kencana
·         Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para Peletak Sosiologi Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
·         Wirawan, I. B. 2012. Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group

puputadistya.blogspot.com

DEMOKRASI



Nama               : Puput Adistya Pratiwi
NIM                : D0315049/Sosiologi A

Demokrasi
Istilah demokrasi muncul pada masa Yunani kuno sekitar abad ke-5 SM. Kata demokrasi berasal dari dua kata, yaitu : demos yang berarti “rakyat” dan kratos atau kratein yang berarti “pemerintahan”. Sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara, untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Kemudian Abraham Lincoln mengatakan demokrasi sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi adalah prinsip Trias Politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip check and balances.
Sejarah perkembangan demokrasi dimulai di kota Athena Yunani, dimana pada masa itu demokrasi yang berkembang adalah demokrasi langsung (direct democracy) yang meletakkan hak seluruh rakyat untuk membuat keputusan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, dan ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan sebagian kecil dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri atas udak berlian dan pedagang asli demokrasi tidak berlaku. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi berubah menjadi bentuk demokrasi perwakilan dimana rakyat melalui perwakilannya untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan untuk mereka. Kemudian gagasan demokrasi Yunani hilang dari muka dunia Barat dan dikalahkan oleh suku Eropa Barat dan Benua Eropa yang memasuki Abad Pertengahan yang dicirikan oleh struktur sosial feodal atau hubungan antara vassal dan lord. Pada Abad Pertengahan ini kehidupan sosial serta spiritual dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama dan kehidupan politiknya ditandai dengan perebutan kekuasaan antar bangsawan yang kemudian menghasilkan suatu dokumen penting yang disebut dengan Magna Charta. Magna Charta ini merupakan semi kontrak antara para bangsawan dan Raja John dari Inggris, dan Raja ini berkuasa dan mengikatkan dirinya untuk mengakui dan menjamin beberapa hak bawahan sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai tonggak perkembangan gagasan demokrasi.
Pada permulaan abad ke-16 di Eropa Barat muncul negara-negara nasional dalam bentuk yang modern. Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern dimana akal dapat memerdekakan diri dari pembatas-pembatasnya. Dua kejadian ini adalah Reneissance (1350-1600) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia, dan reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara. Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesustraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang sebelumnya hanya untuk tulisan keagamaan ke arah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Kemudian pada masa Renaisans, kesustraan dan kebudayaan Yunani kuno yang selama abad pertengahan disisihkan kemudian dihidupkan kembali. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Adanya reformasi serta perang-perang agama menyebabkan manusia melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik di bidang spiritual maupun sosial politik. Kemudian muncullah gagasan mengenai perlunya pemisahan antara Gereja dan Negara khususnya dalam pemerintahan. Reformasi dan perang-perang agama yang muncul mengakibatkan timbulnya gagasan yang menyatakan perlunya garis pemisah yang tegas antara soal-soal agama dan keduniawian, dinamakan ‘Pemisah antara Gereja dan Negara’.
Tujuan dari dua aliran (Renaissance dan Reformasi) tersebut adalah mempersiapkan orang Eropa Barat untuk menyelami masa AufklĮŽrung (Abad Pemikiran) beserta Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal semata-mata. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja.
Monarki-monarki absolut ini telah muncul dalam masa 1500-1700, sesudah berakhirnya Abad Pertengahan. Raja-raja absolut menganggap diri mereka berhak atas tahta berdasarkan konsep Hak Suci Raja (Divine Right of Kings). Kecaman-kecaman yang dilontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan kuat dari golongan menengah yang mulai berpengaruh berkat majunya kedudukan ekonomi dan mutu pendidikannya.
Pendobrakan ini didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang dikenal sebagai social contract (kontrak sosial). Salah satu gagasannya adalah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal.
Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan kontrak sosial antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Perancis (1689-1755). Menurut John Locke, hak-hak politik mencakup atas hak hidup, hak kebebasan, dan hak untuk memiliki (life, liberty, and property). Sedangkan Montesquieu menyusunnya menjadi Trias Politica. Ide-ide bahwa manusia memiliki hak-hak politik menimbulkan revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris.
Sesudah Perang Dunia II, timbul gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun 1949. Akan tetapi, UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap memiliki berbagai pengertian, sekurang-kurangnya ada ketidaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural secara historis yang memengaruhi istilah, ide, dan praktek demokrasi. Kemudian muncullah teori kontrak sosial yang meletakkan dunia sebagai sesuatu yang dikuasai hukum dan yang timbul dari alam dan mengandung prinsip keadilan yang universal yang berarti berlaku untuk semua waktu dan semua manusia. Kemudian pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik yang mendasarkan pada kemerdekaan dan kesamaan hak tiap individu.
Sebagai akibat dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik itu secara efektif timbullah gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah adalah dengan suatu konstitusi apakah bersifat naskah atau tidak. Konstitusi itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga hukum.
Kekuasaan pemerintah adalah dengan suatu konstitusi, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undang dasr itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme (constitutionalism), sedangkan yang menganut gagasan ini dinamakan Contitutional State atau Rechsstaat.
Pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, gagasan mengenai perlunya pembatasan mendapat perumusan yuridis. Ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1904) dan Friedrich Julius Stahl memakai istilah Rechtsstaat, sedangkan ahli Anglo Saxon (negara-negara maritim yang terletak di Eropa) seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law. Unsur-unsur Rule of Law oleh A.V. Dicey dalam Introduction to the Law of the Constitution mencakup, Supremasi aturan-aturan hukum tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum; Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum, dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat; Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan. Negara bersifat pasif dan hanya bergerak di bidang politik, baru bergerak apabila hak-hak manusia dilanggar atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Maka dari itu sering disebut “Negara Hukum Klasik”.
Dalam abad ke-20, terutama sesudah Perang Dunia II telah terjadi perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman terhadap ekses-ekses dalam industrialisasi dan sistim kapitalis; tersebarnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata serta kemenangan dari beberapa partai sosialis di Eropa, seperti di Swedia, Norwegia dan pengaruh aliran ekonomi yang dipelopori ahli ekonomi Inggris John Maynard Keynes (1883-1946).
Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi (staats-onthouding dan laissez faire) lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Pada dewasa ini dianggap bahwa demokrasi harus meluas mencakup dimensi ekonomi dengan suatu sistim yang menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan yang berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Negara semacam ini dinamakan welfare state (negara kesejahteraan) atau social service state (negara yang memberi  pelayanan kepada masyarakat).
Pada dewasa ini negara-negara modern mengatur soal-soal pajak, upah minimum, pensiun, pendidikan umum, asuransi, mencegah atau mengurangi pengangguran dan kemelaratan serta timbulnya perusahaan-perusahaan raksasa (anti-trust), dan mengatur ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak diganggu oleh depresi dan krisis ekonomi. Karena itu pemerintah dewasa ini mempunyai kecenderungan untuk memperluas aktivitasnya.
Sesuai dengan perubahan dalam jalan pikiran ini perumusan yuridis mengenai negara hukum klasik seperti yang diajukan oleh A.V. Dicey dan Immanuel Kant dalam abad ke-19 juga ditinjau kembali dan dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan abad ke 20, terutama sesudah Perang Dunia II. International Commission of Jurists yang merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konferensinya di Bangkok tahun 1965 sangat memperluas konsep mengenai Rule of Law, dan menekankan apa yang dinamakannya "the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age". Dianggap bahwa di samping hak-hak politik juga hak-hak sosial dan ekonomi harus diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa harus dibentuk standard-standard dasar sosial dan ekonomi.
Penyelesaian dari soal kelaparan, kemiskinan dan pengangguran merupakan syarat agar supaya Rule of Law dapat berjalan dengan baik. Pemerintah mempunyai tugas untuk mengadakan pembangunan ekonomi, sedangkan nasionalisasi dan landreform sering perlu diadakan, dan tidak bertentangan dengan Rule of Law. Untuk bisa menyelenggarakan ini perlu ada kekuasaan administratif yang cukup kuat. Diakui bahwa, terutama di negaranegara baru, agar supaya dapat mencapai keuntungan-keuntungan ekonomi dan sosial bagi individu, beberapa tindakan campur tangan dalam hak-hak individu menjadi tak terelakkan lagi. Hanya saja, campur tangan semacam itu tidak boleh lebih dari yang semestinya diperlukan dan harus tunduk pada jaminan-jaminan yang diberikan oleh Rule of Law.

Daftar Pustaka:
·         Agung S, Leo. 2013. SEJARAH INTELEKTUAL. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
·       Budiardjo, Miriam. 2008. DASAR-DASAR ILMU POLITIK. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
·         Heywood, Andrew. 2014. Politik Edisi ke-4. Yogyakarta: Pustaka Belajar
·         Soehino. 2005. ILMU NEGARA. Yogyakarta: Liberty

LEMBAGA SOSIAL



Nama               : Puput Adistya Pratiwi
NIM                : D0315049/Sosiologi A
Lembaga sosial
Lembaga sosial merupakan organisasi norma-norma untuk melaksanakan sesuatu yang dianggap penting dan berkembang berangsur-angsur dari kehidupan manusia. Norma tersebut berkelompok pada berbagai keperluan pokok hidup manusia, atau bisa dikatakan sebagai suatu jaringan sarana hidup berisi peranan yang menjalankan fungsi masyarakat secara terus menerus dan berulang-ulang. Misalnya kebutuhan hidup kekerabatan menimbulkan lembaga sosial seperti keluarga batih, pelamaran dan perkawinan. Kebutuhan akan pendidikan menimbulkan lembaga sosial seperti pesantren, sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi. Kebutuhan akan mata pencaharian menimbulkan lembaga sosial seperti peternakan dan pertanian. Kebutuhan untuk menyatakan rasa keindahan menimbulkan lembaga sosial kesusastraan, seni rupa dan seni suara. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lembaga sosial terdapat di dalam setiap masyarakat tanpa memperdulikan apakah masyarakat tersebut mempunyai kebudayaan bersahaja atau modern. Karena setiap kelompok mempunyai keutuhan pokok yang apabila dikelompokkan terhimpun menjadi lembaga sosial. Dapat dikatakan bahwa lembaga sosial merupakan himpunan norma segala tingkatan yang bekisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Lembaga adalah proses-proses secara terstruktur. Wujud kongkrit lembaga sosial adalah asosasi. Misalnya universitas merupakan sebuah lembaga sedangkan Universitas Sebelas Maret merupakan asosiasi. Setiap lembaga mempunyai kumpulan asosiasi, dan melalui asosiasi itulah norma-norma lembaga dilaksanakan. Lembaga dan asosiasi sangat berkaitan satu sama lain, namun pengertiannya sangat berbeda dan tidak boleh dicampuradukan. 
Secara umum lembaga lahir dari cara-cara berbuat (usage), yang menjadi kebiasaan (folwalks), lalu kebiasaan tumbuh menjadi tata kelakuan (mores) dan apabila tata kelakuan bertambah matang, disertai adanya aturan dan pengenaan sanksi yang relatif berat terhadap pelanggar aturan tersebut, maka telah terbentuk apa yang disebut sebagai adat-istiadat (customs). Dengan kata lain lembaga merupakan kebiasaan berbuat yang dilakukan secara sadar, bersifat permanen dan rasional, mengandung pengertian yang lebih kompleks daripada sekedar jaringan kebiasaan kehidupan kelompok. Dalam pengertian ini lembaga lebih merupakan kristalisasai dari aksi dan kaidah yang selanjutnya dijadikan sebagai pedoman hidup yang menunjuk pada pola perilaku yang mapan, dan berguna untuk mengatur stabilitas hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya suatu lembaga mengandung berbagai aspek kebiasaan, tata kelakuan, norma atau kaidah hukum dan merupakan kumpulan dari berbagai cara berperilaku yang diakui oleh anggota masyarakat sebagai sarana untuk mengatur hubungan sosial. Secara sosiologis, lembaga dalam pengertian hubungan sosial dapat diartikan sebagai suatu jaringan proses huungan antar manusia dalam kehidupan masyarakat, dimana dalam proses tersebut terdapat suatu pola perilaku yang disepakati bersama sebagai patokan agar stabilitas kerjasama upaya mencapai tujuannya dapat terpelihara. Lembaga mengatur cara-cara memenuhi kebutuhan manusia yang penting. Oleh karena itu, dalam setiap kebutuhan masyarakat terdapat lembaga yang berfungsi mengatur berbagai kebutuhan dalam hidupnya.   Kebutuhan manusia yang paling mendasar dalam kehidupan sehari-hari dapat berupa kebutuhan mencari nafkah, hiburan, melanjutkan keturunan.
Lembaga sosial merupakan unit yang fungsional, yaitu organisasi pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Mempunyai tingkat kekekalan tertentu, artinya telah teruji dan berupa himpunan norma pencapaian kebutuhan pokok yang sewajarnya harus dipertahankan. Lembaga juga mempunyai tujuan tertentu. Secara umum tampak bahwa lembaga mempunyai kaitan erat dengan organisasi, karena masing-masing sama-sama mengatur tentang hubungan antar manusia. Dalam organisasi terdapat suatu kerjasama antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Akan tetapi sebenarnya antara lembaga dengan organisasi itu tidaklah sama.  Lembaga sosial merupakan suatu organisasi dari pola pemikiran dan pola perikelakuan yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga terdiri dari unsur kebudayaan yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional. Fungsi dari lembaga sosial sebagai pedoman bagi manusia dalam setiap bersikap dan bertingkah laku, serta sarana bagi manusia dalam masyarakat untuk memelihara integritas sosialnya. Berfungsi sebagai unsur kendali bagi manusia agar tidak melakukan pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dalam praktiknya pengendalian sosial lazim dilakukan oleh kelompok terhadap individu. Tujuannya adalah untuk menjaga keserasian hubungan sosial dalam setiap terjadi perubahan-perubahan kepentingan dalam masyarakat. Secara individual lemaga sosial mengatur diri pribadi manusia agar dapat bersih dari perasaan iri, dengki, benci dan hal-hal yang menyangkut kesucian hati nurani serta mengatur perilaku manusia dalam masyarakat agar tercipta keselarasan antara kepentingan priadi dan kepentingan umum. Lembaga sosial tidak hanya menciptakan tertib sosial, akan tetapi yang paling mendasar adalah untuk menciptakan keserasian antara ketertiban dan jaminan keamanan bagi pergaulan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, dalam kenyataan pergaulan hidup sehari-hari peningkatan ketertiban tidak selalu seimbang dengan jaminan rasa tentram dan keamanan. Ketertiban umumnya identik dengan kondisi yang diatur secara paksa melalui kewenangan tertentu. Sedangkan ketentraman cenderung tumbuh dari perasaan suka dan kesadaran pribadi yang bersifat kontradiktif dengan prinsip pengendalian. Jadi pada prinsipnya lembaga terbentuk dalam kehidupan masyarakat, bukan karena rekayasa pribadi atau kelompok kepentingan tertentu, melainkan terbentuk secara alamiah berdasarkan perkembangan kepentingan masyarakat secara umum.
Lembaga pada mulanya terbentuk atas dorongan kesamaan pandangan, hasrat dan keinginan bersama manusia untuk hidup secara teratur. Cita-cita tentang peraturan hidup ini berpusat pada tatanan normatif hubungan antar anggota masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Penataan, pemeliharaan pengekalan keteraturan hubungan antara anggota masyarakat itu sangat tergantung pada intensitas keadaan bersama terhadap fungsi norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Apabila secara sadar norma itu diakui, dihormati dan dipatuhi bersama sebagai satu-satunya alternatif yang dapat berfungsi memelihara stabilitas hubungan dalam usaha memenuhi kepentingan kelompoknya, maka kehidupan kelompok ini akan semakin mapan dan terpola dalam bentuk lembaga sosial. Tumbuhnya lembaga sosial dari kebutuhan manusia dalam hidupnya dalam hal keteraturan, maka dirumuskan norma-norma dalam masyarakat, proses ini dinamakan proses kelembagaan, yaitu proses yang dilewati suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari suatu lembaga sosial. Maksutnya norma kemasyarakatan itu dikenal, diakui, dihargai dan kemudian dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga sosial kemudian dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut secara nyata dapat membatasi dan mengatur perikelakuan anggota masyarakat dimana mereka bermukim dan bergaul. Lembaga sosial benar-benar telah berlaku apabila norma itu sepenuhnya telah dapat membantu masyarakat dalam pelaksanaan pemenuhan kebutuhan hidupnya secara tertib dan memuaskan. Sebagai bukti bahwa lembaga sosial itu telah diakui, mengikat dan dipatuhi dapat dilihat dari kebiasaan perilaku yang berulang-ulang dengan pola yang sama, yaitu tetap mengacu pada norma sosial yang ada. Supaya anggota masyarakat mentaati norma yang berlaku, maka diciptakan pengendalian sosial. Sistem pengendalian yang merupakan segala sistem yang dijalankan oleh masyarakat selalu disesuaikan dengan nilai dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Tujuannya untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan.  Pengendalian sosial ini dapat berupa preventif dan represif. Preventif yaitu suatu usaha pencegahan terhadap terjadinya gangguan pada keserasian antara kepastian dan keadilan. Sedangkan represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan. Usaha preventif misalnya dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal. Sedang represif berwujud pada penjatuhan sanksi terhadap para warga yang melanggar atau menyimpang terhadap norma yang berlaku. Alat yang biasanya digunakan untuk pengendalian sosial beranekaragam. Suatu alat mungkin saja akan efektif bila diterapkan didalam suatu masyarakat bersahaja. Akan tetapi hampir tidak mungkin digunakan pada masyarakat yang susunannya rumit. Misalnya sopan santun pada hubungan kekerabatan hanya terbatas efektivitasnya pada kelompok-kelompok yang bersangkutan, sopan santun dapat berwujud sebagai pembatasan didalam pergaulan antara mertua dengan menantu, misalnya. Tujuannya untuk mencegah hubungan yang sumbang. Semua masyarakat akan menggunakan alat-alat yang sesuai dengan kebutuhannya. Namun yang paling pokok adalah bagaimana caranya agar pengendalian sosial melembaga dan mendarah daging dalam masyarakat agar penerapannya efektif.

Daftar Pustaka :
·         Soerjono Soekanto. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
·         Anwar, Yesmil. 2013. Sosiologi Untuk Universitas. Bandung: PT Refika Aditama.
·         Paul  B Horton. 1996. Sosiologi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.